
Menurut WHO (2015), stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar. Menurut WHO (2020) stunting adalah pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang / tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO yang terjadi dikarenakan kondisi irreversibel akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat dan/atau infeksi berulang / kronis yang terjadi dalam 1000 HPK.
8 Aksi Konvergensi
Instrument dalam bentuk kegiatan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk memperbaiki manajemen penyelenggaraan pelayanan dasar agar lebih terpadu dan tepat sasaran.
1. DASAR HUKUM
Berdasarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 72 Tahun 2021 disebutkan bahwa stunting adalah gangguan
pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi
berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya di bawah standar
yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan. Sedangkan pengertian stunting menurut Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2.00
SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3.00 SD (severely stunted). Jadi
dapat disimpulkan bahwa stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang dialami
oleh balita yang mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan anak yang tidak sesuai
dengan standarnya sehingga mengakibatkan dampak baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
Arahan
presiden Republik Indonesia terhadap percepatan penurunan stunting di Indonesia
telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan
Penurunan Stunting. Hal ini menjadi fokus utama Presiden, karena semakin banyak
kasus stunting yang terjadi di Indonesia. Penyebab stunting adalah kurangnya
asupan gizi yang diperoleh oleh balita sejak awal masa emas kehidupan pertama,
dimulai dari dalam kandungan (9 bulan 10 hari) sampai dengan usia dua tahun.
Stunting akan terlihat pada anak saat menginjak usia dua tahun, yang mana
tinggi rata-rata anak kurang dari anak seusianya.
Penyebab
utama stunting diantaranya, asupan gizi dan nutrisi yang kurang mencukupi
kebutuhan anak, pola asuh yang salah akibat kurangnya pengetahuan dan edukasi
bagi ibu hamil dan ibu menyusui, buruknya sanitasi lingkungan tempat tinggal
seperti kurangnya sarana air bersih dan tidak tersedianya sarana MCK yang
memadai serta keterbatasan akses fasilitas kesehatan yang dibutuhkan bagi ibu
hami, ibu menyusui dan balita.
Dampak
stunting pada anak akan terlihat pada jangka pendek dan jangka panjang. Pada
jangka pendek berdampak terhadap pertumbuhan fisik yaitu tinggi anak di bawah
rata-rata anak seusianya. Selain itu, juga berdampak pada perkembangan kognitif
dikarenakan terganggunya perkembangan otak sehingga dapat menurunkan kecerdasan
anak. Sedangkan untuk jangka panjang, stunting akan menyebakan anak menjadi
rentan terjangkit penyakit seperti
penyakit diabetes, obesitas, penyakit jantung, pembuluh darah, kanker, stroke,
dan disabilitas di usia tua. Selain itu, dampak jangka panjang bagi anak yang
menderita stunting adalah berkaitan dengan kualitas SDM suatu negara. Anak-anak
merupakan generasi penerus bangsa. Jika stunting tidak segera diatasi hal ini
tentunya akan menyebabkan penurunan kualitas SDM di masa yang akan datang.
2. PERMASALAHAN
Secara makro salah
satu sumber masalah stunting adalah gizi buruk pada ibu dan anak. Kurangnya
asupan gizi pada ibu sejak sebelum hamil, selama kehamilan, dan pada 1.000 hari
pertama kehidupan anak dapat menghambat pertumbuhan mereka. Ini menyebabkan
tingginya angka stunting di Indonesia. Masalah ekonomi juga berperan penting.
Keluarga dengan pendapatan rendah memiliki akses terbatas terhadap makanan
bergizi, sehingga anakanak mereka tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup.
Ketimpangan ekonomi juga memperburuk situasi ini karena hanya sedikit orang
yang memiliki akses terhadap sumber daya dan kesempatan.
Pengetahuan dan
kesadaran masyarakat tentang gizi yang baik juga kurang. Banyak orang tua
di Indonesia belum sepenuhnya menyadari
pentingnya makanan bergizi dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang
pola makan seimbang. Praktik pemberian makanan yang tidak tepat juga berkontribusi
pada gizi buruk pada anak. Akibatnya, anak-anak tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan untuk tumbuh dengan
baik.
Kondisi sanitasi dan
lingkungan juga memainkan peran penting Infeksi dan penyakit, seperti diare dan
penyakit parasit, dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi dan pertumbuhan anak.
Sanitasi
ang buruk dan akses
terbatas terhadap air bersih serta fasilitas sanitasi yang memadai juga
berkontribusi pada masalah stunting, terutama di daerah pedesaan.
Akses terbatas ke
pelayanan kesehatan menjadi sumber masalah lainnya. Fasilitas kesehatan yang
terbatas, terutama di daerah pedesaan, dapat menghambat identifikasi dan
penanganan dini masalah gizi buruk pada anak. Kurangnya pengetahuan dan
kesadaran tentang pentingnya pemeriksaan gizi rutin juga mempengaruhi upaya
pencegahan dan penanganan gizi buruk.
Seluruh Aspek dalam
rangka percepatan penurunan stunting di Indonesia pada umumnya dan kota
probolinggo pada khususnya tidak lepas dari pencatatan data balita atau anak
yang terindikasi stunting melalui Aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan
Gizi Berbasis masyarakat (e-PPGBM).
e-PPGBM merupakan pencatatan dan pelaporan berbasis masyarakat dengan
teknologi elektronik. Dengan aplikasi tersebut, dapat merekam data individu dan
hasil penimbangan, terutama di Posyandu serta mengolah hasil input data tersebut
menjadi status gizi. Data E-PPGBM Kota Probolinggo sampai dengan tanggal 03
Juli 2024 dari total sasaran 13.988 balita yang ada di Kota Probolinggo
terdapat 13.860 atau 99,08% yang telah dilaksanakan pengukuran serentak dalam
rangka mengindentifikasi stunting. Dari Total 13.860 balita yang diukur
terdapat 1.596 balita.
3. ISU STRATEGIS
Kementerian
Kesehatan mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada Rapat
Kerja Nasional BKKBN, Rabu (25/1) dimana prevalensi stunting di Indonesia turun
dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di 2022. Presiden RI Joko Widodo
mengatakan dalam forum tersebut stunting bukan hanya urusan tinggi badan tetapi
yang paling berbahaya adalah rendahnya kemampuan anak untuk belajar,
keterbelakangan mental, dan yang ketiga munculnya penyakit-penyakit kronis.
Bapak
Presiden RI menyampaikan target 14% di tahun 2024. Ini harus bisa dicapai,
dengan kekuatan bersama semuanya bisa bergerak. Angka itu bukan angka yang
sulit untuk dicapai asal semuanya bekerja bersama-sama.
Infrastruktur
dan lembaga yang ada, lanjutnya, harus digerakkan untuk memudahkan
menyelesaikan persoalan stunting. Dari lingkungan mulai dari air bersih,
sanitasi, rumah yang sehat, ini merupakan kerja terintegrasi dan harus
terkonsolidasi. Jadi target 14% itu bukan target yang sulit hanya kita mau atau
tidak mau. Asalkan bisa mengonsolidasikan semuanya dan jangan sampai keliru
cara pemberian gizi.
Hasil
SSGI ini untuk mengukur target stunting di Indonesia. Sebelumnya SSGI diukur 3
tahun sekali sampai 5 tahun sekali. Menkes mengatakan mulai 2021 SSGI dilakukan
setiap tahun.
Penurunan stunting
ini terjadi di masa pandemi bukan terjadi di masa biasa. Menteri Kesehatan Budi
Gunadi Sadikin mengharapkan di masa yang normal tahun ini penurunan kasus
stunting diharapkan bisa lebih tajam lagi sehingga target penurunan stunting di
angka 14% di 2024 dapat tercapai. Secara jumlah yang paling banyak penurunan
angka stunting adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan
Banten.
Metode
survei seperti ini sudah dilakukan selama 3 tahun, bekerja sama dengan Fakultas
Kesehatan Masyarakat UI by name by address dan secara bertahap tetap memakai metode
pengukuran yang memang sudah sebelumnya dilakukan. Jika ingin mengejar
penurunan stunting hingga 14% artinya mesti turun 3,8% selama 2 tahun
berturut-turut. Caranya mesti dikoordinasi oleh BKKBN dan berkolaborasi dengan
kementerian dan lembaga lain. Standard WHO terkait prevalensi stunting harus di
angka kurang dari 20%. Kementerian Kesehatan melakukan intervensi spesifik
melalui 2 cara utama yakni intervensi gizi pada ibu sebelum dan saat hamil,
serta intervensi pada anak usia 6 sampai 2 tahun.
Sesuai
dengan Perpres nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dengan
5 pilar. Pilar pertama adalah komitmen, pilar kedua adalah pencegahan stunting,
pilar ketiga harus bisa melakukan konvergensi, pilar keempat menyediakan pangan
yang baik, dan pilar kelima melakukan inovasi terobosan dan data yang baik.
Tahun
sebelumnya, ada 2 juta perempuan yang menikah dalam setahun. Dari 2 juta
setahun itu yang hamil di tahun pertama 1,6 juta, dari 1,6 juta yang stunting
masih 400 ribu. Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan untuk 3 bulan sebelum
menikah, calon pengantin harus diperiksa dulu kalau ada anemia dan kurang gizi
diimbau menunda kehamilan dulu demi kesehatan ibu dan bayi sampai gizi
tercukupi.
Dari
penjelasan diatas maka Inovasi SIGAP PRO dijalankan untuk mensinergiskan 5
pilar percepatan penurunan stunting. Tidak hanya dari Pemerintah melainkan dari
peran serta privat sector (swasta) dan public society (masyarakat)
4. METODE PEMBAHARUAN
Sebelum
ada inovasi :
a)
Masih ditemukan semua
stakeholder mulai dari internal maupun eksternal berjalan sendiri sendiri
dengan membawa data stunting sendiri sendiri sehingga banyak kegiatan
penanganan yang tumpang tindih (tumpang tindih kewenangan) sehingga intervensi kepada
anak stunting tidak sampai tuntas;
b)
Stakeholder bingung atas data
yang selalu berubah ubah (tidak ada kepastian data);
c)
Tidak adanya monitoring terpadu
atas Data Stunting yang ada di Kota Probolinggo.
Setelah Adanya inovasi :
a)
Terwujudnya Kolaborasi antara
pihak dalam mencapai tujuan bersama dengan memaksimalkan
konsep pentahelix yang melibatkan banyak peran;
b)
Terwujudnya Satu Data stunting
Kota Probolinggo menggunakan Aplikasi e-PPBGM
c)
Semua Stakeholders dapat
memonitor pergerakan dan capaian penanganan Stunting di Kota Probolinggo;